Popular Post

Posted by : Farid Ali Syahbana 25 Feb 2013

Pada saat kita merenung melihat kondisi bangsa ini, kita bingung apa pengertian yang tepat untuk kemerdekaan saat ini. Dahulu kita mudah untuk menerjemahkan kata merdeka karena kita memiliki penjajah asing yang menguasai Indonesia. Dahulu istilah merdeka tidak susah kita artikan karena banyak bangsa-bangsa lain yang juga menginginkan hal yang sama dalam waktu yang relatif berdekatan, yaitu kebebasan dari penguasaan wilayah dan pemerintahan politik oleh bangsa asing. Sekarang apakah pengertiannya berbeda?

Kita dapat menarik benang merah bahwa tidak ada yang berbeda dari perjuangan kemerdekaan jaman dulu dan sekarang, hanya saja bentuk penjajahannya berbeda.
Bapak bangsa kita memiliki visi yang luas terhadap negara ini yaitu "Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur". Mungkin mereka tidak pernah membayangkan akan adanya internet yang memudahkan orang untuk mengakses dan bertukar informasi, tapi mereka memberi suatu tujuan negara yang tidak akan lekang di era apapun, yaitu: "memajukan kesejahteraan umum" dan "mencerdaskan kehidupan bangsa" dan "ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial". Inilah yang harusnya menjadi misi dari pemimpin-pemimpin di negara ini.
Saat ini penjajahan yang terjadi pada bangsa ini adalah kebodohan struktural dan kemiskinan struktural. Kita bisa membayangkan berapa banyak rakyat Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan yang untuk makan saja sulit, apalagi untuk menyekolahkan anak-anaknya? Kita bisa bayangkan anak seorang buruh tani yang tidak lulus sekolah dasar, akan mengikuti jejak orang tuanya yang tidak lulus sekolah dasar. Anak itu akan mengalami ketidakmampuan untuk mendapatkan kesempatan yang lebih baik dalam memperoleh atau menciptakan pekerjaan, sehingga dia pun akan menjadi tidak berdaya seperti orang tuanya, hidup menderita dan kualitas hidupnya (kesehatan) pun sangat menyedihkan. Inilah penjajahan yang sesungguhnya kebodohan struktural yang akhirnya menyebabkan kemiskinan struktural.

Saat ini kita semua harus menyadari efek dari kebodohan struktural dan kemiskinan struktural ini bagi bangsa kita dua puluh - tiga puluh tahun ke depan. Jangan menyangkal dengan berkata bahwa toh kita masih bisa makan dan beristirahat dengan cukup saat ini, itu bukan urusan kita. Saat ini, kita masih bisa menikmati apa yang kita peroleh dengan cukup tenang, tapi bagaimana dengan generasi setelah kita, anak-anak kita?
Apa bisa kita bayangkan dua puluh - tiga puluh tahun lagi akan terjadi pandemik berbagai macam penyakit mematikan karena sebagian besar rakyat Indonesia hidup dalam kualitas kesehatan yang buruk? Jangankan untuk membeli vitamin C atau suplemen makanan untuk meningkatkan daya tahan tubuh, untuk memenuhi pola makan empat sehat saja susah. Apa kita akan mengurung diri saja di dalam rumah kita untuk menghindari pandemik itu? Apakah kita ingin anak-anak kita memakai masker tiap hari karena adanya ancaman penyakit menular setiap harinya? Apakah kita rela anak-anak kita kehilangan kesempatan untuk berinteraksi dengan alam dan memperoleh banyak manfaat darinya?
Apa bisa kita bayangkan dua puluh - tiga puluh tahun lagi akan terjadi tingkat kejahatan yang sangat tinggi karena banyak rakyat yang sangat lapar menjarah apa saja yang bisa dijarah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang paling dasar? Apakah kita rela terjadi hukum rimba karena ketidakmampuan rakyat berkompetisi dengan sehat membuat mereka memaksakan kehendaknya dengan cara kekerasan? Saat ini, potensi ke arah itu sudah mulai terlihat. Apa kita rela anak-anak kita tidak tenang untuk berangkat sekolah karena setiap saat keselamatannya terancam?
Saat ini kita semua tidak bisa (must not) untuk lepas dari tanggung jawab memberdayakan masyarakat (society) di sekitar kita. Tidak akan ada yang bisa menghalangi udara yang mereka hirup dan hembuskan mengalir ke pekarangan rumah atau tempat kerja kita. Kita tidak bisa menghindari adanya kemungkinan tindak kekerasan terjadi pada diri kita dan keluarga kita.

Kita tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah saja untuk mengatasi kebodohan dan kemiskinan struktural seperti halnya kita tidak akan bisa meminta pemerintah untuk melarang udara yang berisi virus penyakit menular menyebar kemana-mana. Kita sendirilah yang harus (must) berusaha untuk mengurangi kebodohan dan kemiskinan struktural itu. Kita yang lebih mampu harus bisa melihat pemberdayaan masyarakat sebagai bagian dari tanggung jawab kita terhadap penyediaan kehidupan yang layak bagi generasi setelah kita, anak-anak kita.
Mulailah menilik pengeluaran kita setiap bulannya. Apakah kita lebih rela mengeluarkan uang anda untuk sesuatu yang konsumtif demi memuaskan keinginan kita atau kita lebih rela menyisihkan uang tersebut untuk menjadi bapak/ibu asuh bagi anak yang tidak mampu di sekitar kita.

Mulailah kita melihat pendapatan kita setiap bulannya. Apakah ada dari pendapatan tersebut yang bersumber dari hasil korupsi yang menyebabkan rakyat kita menjadi lebih miskin? Ingat, kita mungkin menikmati hasil korupsi itu saat ini, tapi anak-anak kita akan menikmati dampak dari kebodohan dan kemiskinan struktural itu. Lagipula, apalah artinya apabila kita memiliki seluruh isi dunia ini kalau kita kehilangan ketenangan bahkan nyawa kita?
Mulailah berpikir apa yang akan terjadi pada anak-anak kita dua puluh - tiga puluh tahun lagi, pada bangsa kita Indonesia, bukan karena kita ingin (want to) tapi karena kita harus (must). Mulailah kita berpikir hal-hal apa saja yang harus kita hindari agar tidak membuat orang lain menjadi lebih bodoh dan miskin, bukan karena kita tidak ingin (don't want to) tapi karena kita tidak boleh (must not) karena masa depan anak-anak kita dan bangsa Indonesia ditentukan dari apa tindakan kita saat ini.

Leave a Reply

Selamat Datang di Blog Sederhana saya :) Silakan kirimkan kritikan dan saran anda yang membangun bagi blog saya ini ke depannya.. Terima Kasih

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Copyright © Catatan Farid - alisyahbanaf - Powered by alisyahbanaf Blog -Design by Johanes Djoganand Design Editor by Farid Ali Syahbana